Sabtu, 16 Juli 2011

Dari Diskusi Publik "Proyeksi Sistem Pemilu" Banyak Kegamangan dalam Sistem Politik Indonesia

Belum ada yang tahu seperti apa sistem pemilihan umum (pemilu) 2014 mendatang. Meski demikian, sudah menggelinding beberapa tawaran dan konsep. 
Hingga kini, sistem pemilu Indonesia belum menemukan bentuk yang pas. Masih butuh penyempurnaan dari pemilu ke pemilu. Mudah-mudahan di pemilu 2014, sudah ada bentuk yang pas atau mendekati pas untuk kondisi di Indonesia.
Harapan akan sebuah sistem pemilu yang sempurna tersebut menjadi kalimat pembuka dalam Diskusi Publik "Proyeksi Sistem Pemilu" di studio mini redaksi Harian FAJAR, Senin, 30 Mei. Itu dilontarkan Ketua KPU Makassar, Misnah Hattas selaku pelaksana diskusi. "Kita butuh perbaikan proses politik untuk demokrasi," kata Misnah.
Meski peserta hanya puluhan orang, termasuk sejumlah pengurus partai politik dari Hanura, PKB, PDIP, tetap saja diskusi berjalan menarik. Apalagi, diskusi yang dipandu redaktur politik Harian FAJAR, Yusuf Said menghadirkan pembicara yang memang selama ini terlibat secara langsung sebagai penyelenggara maupun sebagai pengamat pemilu.
Mereka dalah Ketua KPU Sulsel, Jayadi Nas, mantan anggota KPU Makassar, Pahir Halim, serta pengamat komunikasi politik, Dr Hasrullah.
Jayadi membuka statemen-nya dengan kritikannya terhadap sistem perpolitikan di negeri ini. Baginya, banyak kegamangan dalam sistem politik di Indonesia. Termasuk Indonesia yang menganut sistem presidensial tapi yang berlaku justru sistem presidensial parlementer. "Makanya kita harap dalam revisi UU ada kesesuaian antara sistem politik yang dibangun. Sebab lucu di Indonesia, kita sistem presidensial tapi di lain sisi partai cukup banyak," katanya.
Terkait sistem pemilu ke depan, menurut Jayadi, semua bergantung pada sembilan parpol yang kini sedang membahasnya di DPR RI. Termasuk soal Parliamentary Threshold (PT).
"Kalau 2009 PT hanya 2,5 persen dan hanya 9 parpol yang masuk, sekarang ada yang usul 3 persen, 4 persen dan 5 persen. Ini sekarang tarik menarik. Tapi kalau ini bagian dari upaya penataan sistem politik kita, tidak jadi soal," katanya.
Namun, menurutnya, untuk PT meskipun rendah misalnya hanya 3 persen, tapi tetap ada siasat parpol yakni pemberlakuan secara nasional, mulai pusat sampai kabupaten/kota.
Pahir Halim mengawali komentarnya dengan pertanyaan. Berapa banyak sebenarnya parpol yang ideal menjadi peserta pemilu? "Belum ada jawaban," katanya.
Bagi dia, kondisi kita yang multikultural, dan multi etnis, menjadikan multi partai memang wajar. Tapi berapa banyak idealnya jumlah parpol, ia juga tak bisa menyebut angka.
Soal PT sendiri, aktivis NGO ini tak terlalu mempersoalkannya. Bagi dia, pemberlakuan PT untuk tingkat nasional hingga kabupaten kota tujuannya jelas. "Ini untuk membendung parpol. Parpol yang memang tidak dipilih rakyat tidak perlu memaksakan diri lagi," katanya.
Pahir juga menyinggung soal Daftar Pemilih Tetap (DPT). Menurutnya, jika ke depan DPT tidak ada, itu bisa berbahaya. Karena itu, harus ada kepastian soal DPT meskipun di pilpres lalu orang bisa memilih dengan paspor saja.
Ia juga menyinggung soal sistem pemilu yang ditawarkan Centre for Electoral Reform (Cetro) yakni Mixed Member Proportional atau proporsional campuran. Termasuk di dalamnya terkait daerah pemilihan (dapil). "Berapa jumlah kursi per dapil, kemarin kan antara 3-12. Ini juga perlu dicermati. Perlu ada perubahan misalnya Sulsel minimal tiga dapil," katanya.
Draf revisi UU Pemilu yang kini sedang dibahas di Senayan juga dibeberkan Pahir. Termasuk soal model pemberian hak suara yang dikembalikan lagi ke model coblos.
"Contreng sudah cukup bagus. Tidak banyak suara batal. Contreng itu murah dan mendidik. Mestinya itu diulang kembali. Tapi ini drafnya coblos lagi. Ini berimbas ke anggaran. Ini akan mahal. Di draf terbaru juga suara terbanyak lagi. Saya dari dulu tidak percaya suara terbanyak. Sebab siapa yang banyak uang dia yang terpilih. Jadi menurut saya parpol kecolongan di sini. Meskinya mereka berjuang," katanya menyinggung soal kader terbaik parpol yang kadang kalah bersaing.
Dr Hasrullah dalam diskusi ini mengangkat wacana pentingnya riset untuk menentukan bagaimana model sistem pemilu. Ia sendiri menyebut bahwa sistem pemilihan distrik sesuatu yang bisa dipertimbangkan.
"Distrik sangat penting dipertimbangkan. Banyak kader partai yang bagus tidak bisa duduk lantaran partainya secara nasional tidak memenuhi PT," katanya.
Soal model pemberian suara, Hasrullah lebih condong ke coblos. Alasannya banyak warga yang salah dalam mencontreng.
Hasrullah juga menyinggung soal wacana pilgub dikembalikan ke dewan. Menurutnya itu kemunduran.
Dalam sesi tanya jawab, peserta diskusi, Abdul Muin menegaskan perlunya ada perubahan sistem pemilu. Salah satunya pada penyelenggara, KPU. Menurut dia, KPU harusnya betul-betul sebagai wasit. "Ia juga yang membuat peraturan. Jadi KPU sebagai wasit yang baik bukan lain yang bikin peraturan lain yang jalankan," sarannya.
Mahasiswa S2 UGM, Rizal Syuaib yang ikut ambil bagian dalam diskusi mengeritik terlalu cepatnya sistem politik berubah. Ia juga menyarankan pelibatan mahasiswa dan pemuda di KPPS atau TPS untuk menghilangkan kesan pemilu mahal.
"Indonesia memang masih dalam proses menata. Makanya berubah-ubah terus," kata Jayadi menanggapi pernyataan Rizal. (amiruddin@fajar.co.id)
BAHAS PEMILU. Dari kini, Hasrullah, Jayadi Nas, Fahir Halim dan Yusuf Said (moderator) dalam Diskusi Publik “Proyeksi Sistem Pemilu” di studio mini redaksi Harian FAJAR, Senin, 30 Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar